1cerita1masalah.blogspot.com adalah website penyedia cerita hiburan fantasy tentang SEX

Tuesday, June 7, 2016

Sleeping Pills Tragedy (PART 2)

Sleeping Pills Tragedy (PART 2)

Malam itu, mata Jono masih sulit terpejam. Pikirannya masih tertuju ke apartemen tempatnya bekerja. Bayangan Vanya membuat kontolnya masih saja mengeras. Wajahnya yang rupawan, tubuh langsing dan mulus, pantatnya yang sekal dan putih bersih. Aroma wanginya yang samar.. 

Namun sekelebat rasa takut juga mulai menyergap benaknya. Meski ia meyakini Vanya takkan tahu siapa yang menggagahinya dalam tidur, ia masih membayangkan hal-hal buruk yang akan menimpanya jika hal ini terungkap. Ia mulai membayangkan jika ia dipecat, kehilangan anak-istri, bahkan masuk penjara. 

Gah!

Jono mondar-mandir dalam kamar. Tubuhnya lelah, namun pikirannya masih nyalang, berkelana. Onani mungkin jadi satu-satunya jalan keluar baginya malam itu. Ia bergegas membongkar kasur, memilih-milih majalah pria dewasa.

---

"Hihihi, kamu ini ada-ada aja deh."

Suara samar di luar kamarnya membuat jemarinya terhenti membolak-balik lembaran majalah. Ia kenal suara itu. Fitri.

Perlahan ia berjingkat dan menyingkap ujung tirai jendela kamarnya. Gadis cantik putri pemilik kos itu sedang terduduk santai di kursi panjang teras halaman belakang, tepat di seberang kamar kosnya. Tangan kanannya menahan ponsel di telinga, sementara bibirnya setengah berbisik bersenda gurau dengan lawan bicaranya.

Ia mengenakan daster selutut yang kini telah tersingkap hingga ke paha, kedua kakinya naik ke atas meja. Tangan kirinya memainkan rambut panjang sebahu yang terurai.

Meski lampu teras samping begitu temaram, tapi Jono mampu melihat dengan jelas setiap jengkal sosok gadis itu. Jakunnya mulai naik turun.

---

Dulu, Jono sempat berkhayal untuk bisa membuat Fitri jatuh dalam pelukannya. Karakter Fitri yang mirip dengan istrinya, ditambah dengan paras ayu dan tubuh yang seksi semampai, membuatnya tak mampu menahan naluri untuk menggoda gadis muda itu.

Dengan bermodal rayuan kampungan, Jono sempat mencoba peruntungannya saat gadis itu masih duduk di bangku SMA. Namun reaksi Fitri yang dingin membuatnya cepat tersadar dengan kenyataan. Meski sedikit sakit hati, ia menyadari bahwa tampangnya yang biasa-biasa saja dan statusnya sebagai perantau dengan anak-istri akan membuat gadis manapun tak akan tergoda olehnya.

Tahun ini, Fitri akan masuk kuliah di salah satu universitas di luar negeri. Gadis itu cukup cerdas di sekolah, menurut mbok Minah - tukang cuci kos yang sempat di’interogasi’ Jono.

Jono telah penjadi penghuni kos itu selama bertahun-tahun. Meski tak terlalu mengenal secara pribadi, namun Joni paham betul karakter gadis itu. Berbeda dengan gadis-gadis seusianya, Fitri termasuk gadis yang ‘rumahan’. Perilakunya santun dan sangat mandiri, kontras dengan penampilan fisiknya yang menggairahkan setiap lelaki.

Soal Fitri, dulu Jono punya catatan dosa tersendiri. Hampir tiap pagi buta, Jono selalu onani di balik tirai jendela kamarnya. Pemandangan Fitri dengan daster setengah basah saat menjemur pakaian di halaman belakang cukup membuat nafsunya meledak-ledak.

Kulit kuning langsat yang bersih dan tubuh yang proporsional, dengan pakaian dalam tersirat dari daster basah selutut akan cukup untuk membuat siapapun menelan ludah. Jono selalu ejakulasi saat Fitri membungkuk membelakangi kamarnya, memeras cucian di ember. Ia serasa ingin hendak meloncat keluar dari kamar, dan menghujamkan kontolnya di sela bokong gadis itu. Sayang, hobinya terhenti sejak Fitri lulus sekolah, karena gadis itu kini mencuci pakaian di sore hari, saat Jono masih sibuk bekerja.

Tanpa sadar, tangan Jono telah masuk ke dalam gulungan sarungnya yang kini acak-acakan. Jemarinya menggenggam batang kontolnya, mengocok dengan gerakan teratur. Nafasnya semakin memburu. Matanya terpejam, sesekali terbuka untuk kembali menyegarkan imajinya tentang Fitri dari jendela kamarnya.

Baginya, sosok Fitri dengan dasternya yang tersingkap sebatas paha cukup untuk menggantikan majalah-majalah dewasa koleksinya. Ingatan saat Fitri menjemur pakaian di pagi hari kembali muncul memenuhi benaknya. Ia membayangkan dirinya sedang menghujami pantat tubuh semampai itu. Betapa empuknya saat pinggulnya beradu dengan bokong sekalnya. Betapa sempit memek gadis itu menjepit kontolnya. Ah!

Tok tok tok!

"Mas Jono.." 

---

Leher Jono tercekat.

Tangan dan tubuhnya seolah membeku, tak bergerak. Ia sedang berada di ujung klimaks, dan tiba-tiba seperti terjatuh ke jurang dari alam mimpi. 

Dengan serabutan ia mencoba membenahi bentuk sarung yang dikenakannya. Namun hampir mustahil untuk menyembunyikan batang kemaluannya yang keras seperti kayu.

"I.. Iya neng. Sebentar.." ujarnya gelagapan.

Ia membuka pintu sedikit saja, kepalanya langsung ia julurkan keluar. Aroma wangi parfum Fitri berhembus di wajahnya, membuat jantungnya berdetak semakin kencang. Peluh mulai mengalir dari keningnya. Jono mulai salah tingkah.

Fitri menyadari tingkah aneh Jono dan tersenyum simpul.

"Ada apa ya, neng?" tangan Jono berusaha menenangkan alat kelaminnya yang tak kunjung lemas dari balik pintu.

“Ng, anu mas. Kipas Fit di kamar rusak. Mas bisa benerin ga?” pinta Fitri dengan suara manja. Gadis itu seolah tahu bagaimana membujuk Jono, persis seperti istrinya di kampung.

“Oh, bisa, bisa neng!” ujarnya spontan. Tanpa dikomando, mata Jono menjelajah, seolah ingin menerawang dan membakar habis daster gadis itu dengan tatapan matanya.

“Ehem!” 

Jono tersentak.

“Fit tunggu di dalem ya,” ujar gadis itu tersenyum. Dasar lelaki, tawanya dalam hati. Ia berjalan riang kembali ke dalam rumah sembari memainkan ponselnya.

Jono masih terpaku. Matanya melotot mencoba merekam goyangan bokong sekal gadis itu, mencari siluet celana dalam dari balik dasternya. Mulutnya menganga.

Bagi Jono, permintaan seperti ini bukan yang kali pertama. Kipas di kamar gadis itu seringkali rusak, karena selalu dinyalakan sepanjang waktu, bahkan saat ia tak ada di kamar.

Hari ini, mungkin akan berakhir seperti hari-hari lainnya. Fitri hanya akan menyambutnya di pintu kamar, menyiapkan teh lalu meninggalkannya memperbaiki kipas itu di kamar sendirian. Sebuah senyuman dan ucapan terima kasih menjadi penutup saat kipas itu telah kembali berfungsi.

Dengan malas, ia memindahkan beberapa peralatan yang diperlukan ke dalam tas pinggangnya. Tiba-tiba matanya terhenti pada satu strip obat yang menyembul keluar dari tas kerjanya. Jono tercenung berpikir.

Hmm, siapa tahu? gumamnya dalam hati. Kesempatan takkan datang dua kali.

Ia menyelipkan strip obat itu ke dalam tas pinggangnya dan beranjak keluar kamar.

---

“Eh, lo tau nggak, mas Jono yang tinggal di kamar kos tengah?”

“Yang item itu? Iya, kenapa?”

“Tadi kan gue datengin kamarnya, minta tolong benerin kipas. Eh, mukanya sange banget. Keringetan, tangannya kayak lagi pegang tititnya gitu!”

“Ah, serius lo! Masa dia pegang tititnya depan lo?”

“Emang enggak sih, dia sembunyiin di balik pintu. Cuman ketahuan banget lagi nafsunya. Mungkin lagi ngocok pas gue dateng apa ya?”

“Hihihi.. Trus lo mau apa? Biarin aja lah, kasian tuh, bininya jauh di kampung.”

“Nggak sih, tadi pas gue disitu, matanya jelalatan gitu liatin toket gue. Kayaknya perlu gue kerjain deh..”

“Ish.. gila lo ya, Fit!”

“Hihihi, tenang aja deh. Ntar gue ceritain lagi lanjutannya pas kipasnya dah kelar..”

--

Bagi Fitri, Jono juga bukan orang asing. Meski tak terlalu akrab, Fitri sedikit memahami karakter Jono. Kebiasaannya yang tidak aneh-aneh, rajin bekerja dan pendiam meninggalkan kesan khusus bagi gadis itu. Baginya dan keluarganya, Jono adalah satu-satunya penghuni kos yang bisa dipercaya.

Sikap dinginnya atas Jono akibat rayuan kampungnya di masa lalu perlahan telah berubah, seiring Fitri tumbuh dewasa dan memahami kesulitan Jono yang jauh dari istrinya. Namun sayangnya, Jono terlalu larut dalam kekecewaannya hingga tak bisa lagi menangkap keramahan yang mulai ditunjukkan gadis itu akhir-akhir ini.

Fitri bangkit dari ranjang dan berkacak pinggang di depan cermin. Kamarnya begitu pengap dan panas, karena kipas yang mati. Kulitnya lembab mulai berkeringat.

Hmm, mau diapain ya? ujarnya dalam hati.

Gadis itu sama sekali tak merasa terganggu dengan tatapan cabul Jono sebelumnya, hanya saja tingkah lelaki itu kali ini benar-benar di luar kebiasaan. Wajahnya yang tegang, penuh peluh dan salah tingkah saat menyambutnya membuatnya kembali tertawa kecil.

Tanpa melepas daster, dengan lihai gadis itu melepas bra merah muda yang dikenakannya. Kini kedua payudara ranumnya menggantung tanpa hambatan. Gesekan antara kain daster dan puting susunya membuat jantungnya berdebar.

Fitri meletakkan kutangnya sedemikian rupa di ujung ranjang, agar tak terlalu mencolok, namun tetap terlihat mata. Ia ingin merekam reaksi lelaki itu saat mendapatinya tak mengenakan penutup dada. Ia kembali melirik cermin, putingnya yang mengeras menyembul dari dadanya yang bergoyang bebas.

“Neng?”

“Oh, sebentar mas,” ujar gadis itu terkesiap. 

Ia kembali mematut diri di cermin, perasaannya campur aduk. Ia tak pernah senekat ini dalam hidupnya. Fitri merasa bergairah dan cemas di saat yang bersamaan. Meski masih tertutup daster, payudaranya menyembul tanpa penutup. Gadis itu merasa ‘nakal’.

---

“Masuk mas..”

Jono lunglai berjalan masuk, matanya langsung tertuju pada kipas. Fitri mengamati dengan seksama tatapan mata Jono, dan sedikit kecewa karena Jono tak langsung memperhatikan dirinya.

“Minum teh, mas?” ujar gadis itu tiba-tiba. Ia ingin Jono terkejut dan melihat ke arahnya.

Glek!

Jono menelan ludah seketika. Bisa ditebak, matanya langsung tertuju pada bongkahan payudara gadis itu. Ia seketika memalingkan wajahnya, seolah tak ingin pemilik susu ranum itu memergoki tatapan jalangnya.

“Boleh,” ujarnya mengangguk. Fitri keluar kamar sambil menahan tawa.

Gejolak birahinya yang sudah mereda tiba-tiba bergejolak kembali. Jono merasakan ada yang aneh dengan tingkah gadis anak pemilik kos itu, dan khayalan nakalnya mulai timbul kembali. 

Ah, tidak mungkin, gumamnya. Kemana beha-nya? Ah!

Dengan cekatan ia memanjat meja rias untuk menurunkan kipas dinding yang rusak itu. Ketika berusaha melepas bagian-bagian kipas untuk diperiksa, matanya tiba-tiba terhenti pada secarik kain di seberang ranjang. Sebuah kutang merah muda. 

Tak salah lagi.

Jantungnya mulai berdebar. Setelah berulang kali menyambangi kamar gadis itu, tak pernah ia dapati Fitri sesembrono ini. Ia mulai membayangkan betapa indahnya payudara telanjang Fitri, dan betapa inginnya ia meremasnya dengan telapak tangannya yang kasar. Ia seperti bisa merasakan betapa sekalnya tetek gadis muda itu.

“Ini mas diminum tehnya.” 

Jono terkesiap, “Terima kasih, neng.” 

Matanya melirik mencoba menangkap momen saat Fitri jongkok meletakkan cangkir teh itu di sampingnya. Belahan payudara putih yang terpampang dari leher daster gadis itu membuat Jono terperanjat. Jantungnya mulai berdebar tak karuan. Kontolnya mengeras lepas kendali.

---

Tak seperti biasanya, kali ini Fitri tetap tinggal di kamar. Gadis itu duduk di ujung ranjang, dengan kedua kaki selonjor dan tangan memainkan ponsel, tepat di seberang Jono yang mengutak-atik kipas di depan meja rias. Segelas jeruk dingin tampak di meja kecil di sampingnya.

Jono berusaha memperbaiki kipas itu secepat mungkin, namun gemuruh hasratnya membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. Matanya sesekali melirik ke arah payudara dan paha gadis itu, mencoba peruntungannya lebih jauh lagi.

Fitri sendiri bukan tak menyadari hal ini. Jantung gadis itu berdesir kencang saat ia menangkap tatapan penuh nafsu lelaki itu dari sudut matanya. Di luar perkiraannya, Fitri malah merasakan gairahnya membuncah. Rasa geli dan cairan mulai membasahi celana dalamnya. Nafasnya mulai berat dan kedua pahanya merapat menggelinjang.

Ia kebingungan, Kok bisa ya?. Lirikan kurang ajar Jono ke seluruh penjuru tubuhnya malah membuat hasrat gadis itu bergelora. Sesuatu yang hampir tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Gadis itu bimbang menentukan langkah selanjutnya. Rangsangan yang ia rasakan terlampau nikmat untuk dihentikan, namun rasa khawatir juga mulai menyergap benaknya, dari semakin seringnya Jono mencuri pandang ke arah tubuhnya.

“Neng?”

Gadis itu tersentak. “Iya mas?”

“Bisa pinjam obengnya yang kecil? Saya lupa bawa tadi,” ujar Jono sambil berpura-pura sibuk.

“Oh, ada! Sebentar ya.’

---

Bak seorang yang terlatih, dengan sigap Jono mengeluarkan strip obat dari tas pinggangnya, dan menggerusnya cepat dengan gagang tang di alas cangkir tehnya. Nafasnya memburu. Ia harus cepat, atau kesempatan ini akan hilang untuk selamanya.

Tanpa ragu, Jono setengah berlari menuang bubuk obat itu ke dalam gelas jeruk milik gadis itu yang masih terisi setengah. Tanpa ragu, ia mengaduk-aduk isinya dengan jemarinya.

---

Suara dengkuran halus mulai terdengar dari bibir mungil gadis itu. Fitri terkulai tidur bersandar di dinding ranjang, sebelah kakinya menjuntai ke lantai. Dasternya sedikit tersingkap hingga ke pangkal pahanya yang mulus, memperlihatkan secarik celana dalam mungil warna abu-abu.

Hanya butuh waktu 15 menit sejak Fitri menenggak habis jus jeruk yang telah dicampur Jono dengan obat tidur, hingga ia tertidur pulas setengah pingsan.

Anehnya, Jono malah terduduk membisu di kursi meja rias. Matanya menatap kosong ke arah tubuh gadis itu. Kipas angin telah kembali menyala dan terpasang rapi di tempatnya, namun peluh tak berhenti mengucur dari kening lelaki itu.

Jono bimbang.

Meski gairahnya sudah memuncak di ubun-ubun, namun Jono merasa berat untuk segera beraksi. Tak seperti situasi sebelumnya di apartemen Vanya, kali ini rasa takut malah menguasai dirinya.

Jono baru sadar, jika ia benar-benar menggagahi Fitri kali ini, ia takkan bisa lolos dari jerat hukum. Begitu banyak celah yang bisa membuatnya tertangkap. Gadis itu tentu ingat siapa yang terakhir berada di kamar bersamanya. Jono mengumpat dalam hati.

---

Kepalanya celingukan di pintu kamar, mencoba memastikan bahwa tak ada siapapun yang berada di sekitar situ. Setelah merasa aman, perlahan ia menutup pintu dan menguncinya. Ia mendekat ke ranjang dan perlahan berusaha memindahkan gadis itu ke tengah ranjang.

Kini Fitri sudah terbaring telentang di tengah ranjang. Rambutnya acak-akan, dasternya tersingkap hingga ke perut. Tubuh mulusnya kini terpampang jelas di hadapan Jono, tak berdaya.

Meski tahu bahwa ia tak mungkin menyetubuhi gadis itu, Jono bertekad untuk setidaknya menikmati tubuh gadis itu dengan mata, mulut dan tangannya. Baginya, kesempatan ini terlalu langka untuk bisa terulang.

Jono naik ke ranjang dengan perlahan. Celana panjangnya telah berada di lantai, kontol hitamnya kilat mengeras. Nafasnya memburu.

Sebelah tangannya mulai mengelus wajah dan rambut gadis itu. Jemarinya berusaha merekam betapa halusnya paras cantik Fitri, betapa mungil bibirnya yang ranum. Ia merapatkan kepalanya ke wajah gadis itu. Nafas halus dan aroma wangi semakin membuat gairahnya tak terkendali.

Dengan rakus ia mencium dan melumat bibir Fitri, menyesap sisa rasa manis dari jus jeruk dari lidahnya. Jono menggila, ia menciumi gadis itu seperti melumat bibir istrinya sendiri. Matanya terpejam. Ia berkhayal bahwa Fitri adalah kekasihnya. Ia berkhayal seolah mereka saling cinta.

Ciuman dan jilatan Jono menyapu setiap jengkal wajah dan leher gadis itu. Erangan lirih mulai menyelingi nafas gadis itu, seolah alam mimpi menyajikan hal yang sama dalam tidurnya.

Tangan Jono mulai menggerayang bebas di dada gadis itu. Ia menggerus rahangnya gemas saat mendapati payudara Fitri yang masih begitu sekal. Meski diselimuti daster, Jono meremas bongkahan susu putri pemilik kosnya itu dengan kedua tangannya.

Dengan satu tarikan, daster gadis itu kini telah tergulung hingga ke leher. Kini lelaki itu bisa menikmati sepenuhnya pemandangan yang telah diimpikannya selama bertahun-tahun. Dengan lampu kamar yang terang menyala, ia mencoba melahap setiap lekuk payudara berputing mungil itu.

Tanpa membuang waktu, Jono agresif melumat dan menghisap payudara sekal itu. Tubuhnya kini menindih Fitri, dengan kedua jemarinya tak henti meremas dada dan memilin pentilnya yang mulai mengeras. Kontol kerasnya tepat berada di ujung kemaluan Fitri yang masih tertutup celana dalam yang mulai basah.

Dengan perlahan, ia mulai menggerus kontolnya dengan klitoris gadis itu. Kain cawat yang basah dan licin seringkali menuntun kepala penisnya tepat di lubang vagina Fitri. Ia pun mulai menyodok sedikit lebih dalam, sensasi ujung kontolnya yang basah mendesak masuk ke dalam memek gadis itu membuatnya nafsunya semakin tak terkendali.

Hanya butuh satu hentakan kuat bagi Jono, untuk membuat kepala kontolnya lolos dari hambatan celana dalam mungil itu dan amblas ke dalam liang vagina Fitri. Namun sekelebat rasa takutnya kembali, dan ia mengurungkan niatnya.

Wedhus!

--

Tak mau membuang waktu, kini perhatian Jono tertuju pada daerah intim Fitri. Kedua tangannya membuka lebar kedua paha gadis itu, mempertontonkan area kewanitaan yang selama ini dijaganya. Setiap bagian tubuh Fitri tampak begitu muda, begitu ranum. Selangkangan gadis itu bersih memerah, dengan bulu-bulu halus menyembul dari sisi celana dalamnya.

Tak butuh waktu lama bagi Jono untuk melepas celana dalam gadis itu. Seolah baru melihat keajaiban, ia meletakkan wajahnya tepat di depan memek Fitri. Jembutnya yang masih halus, bibir vagina yang memerah dengan kelentit panjang. Liang yang masih rapat namun basah dari cairan yang mengalir keluar. Jono ingin menjerit sekuatnya.

---

Ia menjilati memek gadis itu dengan segenap perasaan. Bibirnya sesekali menghisap ujung kelentit yang panjang, lidahnya menyapu bibir kemaluan Fitri dari bawah ke atas. Cairan mulai membanjiri liang kenikmatan yang kini semakin memerah.

Erangan lirih kini mulai berubah menjadi desahan. Kedua paha gadis itu menggelinjang hendak mengatup menahan nikmat. Jono tak khawatir sama sekali. Ia hanya berharap bahwa siapapun yang sedang menggumuli Fitri di alam mimpinya, itu adalah dia.

Tanpa lelah, lidah dan bibirnya tak berhenti menjilat dan menghisap memek Fitri. Cairan mengalir deras dari liang memek gadis itu.

Bersimpuh mengangkang, Jono menghadapkan kontolnya di depan memek Fitri. Tangan kanannya mengocok batang kemaluannya, sementara jemari tangan kirinya tanpa lelah menggesek klitoris merah muda itu.

Nafasnya mulai menderu. Semua tampak seperti mimpi bagi Jono. Dalam batin, ia sangat berterima kasih pada satu strip obat tidur yang dibawanya. Meski tak bisa menyetubuhi gadis itu, setidaknya impian untuk bisa menikmati tubuh molek gadis putri pemilik kosnya ini telah terkabul.

Tangan kanannya semakin kencang mengocok kontolnya, diiringi dengan desahan Fitri yang semakin jelas terdengar. Dan tiba-tiba mulutnya menganga, punggungnya melengkung. Ia menahan suara lenguhannya hingga pundaknya bergidik. Pejunya muncrat dengan deras ke perut gadis itu.

Ooooouuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!

---

Vanya terduduk bisu di tepi ranjangnya yang masih acak-acakan. Matanya kosong memandangi gerak tirai yang melambai tertiup angin dari jendela yang terbuka setengah. Leher kaos tipisnya yang kebesaran melorot turun ke lengannya, menyingkap sebelah payudaranya dengan puting yang mengeras. Dinginnya hawa dari jendela tak lagi dirasakannya.

Rambutnya tergerai lusuh, sebagian menutupi kantung matanya yang masih bengkak. Vanya masih tak bisa percaya dengan apa yang terjadi dengan dirinya. Keperawanannya yang ia jaga sepenuh hati tiba-tiba lenyap direnggut paksa oleh lelaki asing yang tak ia kehendaki. Lelaki tanpa wajah, tanpa nama, tanpa suara. Ia merasa hancur.

Pagi itu, Vanya sempat berpikir untuk melaporkan kejadian ini ke polisi. Ia tengah mempersiapkan seprei yang berlumur sperma ke dalam kantong plastik, ketika ia menyadari bahwa langkahnya mungkin akan sia-sia.

Pintu kamarnya yang masih terkunci rapat saat ia terbangun menjadi ganjalan dalam pikirannya. Siapakah bajingan itu? Donny? Kekasihnya itu memang sering berkunjung ke apartemennya, namun ia tak memiliki kunci pintu apartemennya. Lalu siapa? Siapa bajingan yang bisa memasuki kamarnya saat ia terlelap dan bisa menguncinya kembali?

Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya kalut dan semakin bingung. Ia sadar, polisi akan sulit percaya dengan kisahnya.

Tok tok tok!

Vanya tergopoh bangkit dari duduknya dan ala kadarnya membenahi kaos yang dikenakannya. Ia hanya mengenakan celana dalam warna merah, yang terpampang jelas dari kaos sepanjang pinggangnya yang tipis. Biasanya ia takkan seberani itu berpakaian di hadapan orang lain, meski itu pegawai apartemen. Namun kini, semua itu tak lagi berarti baginya.

---

Niko tercekat ketika pintu Vanya terbuka. Sesosok gadis cantik yang nyaris tanpa busana berdiri tegak di hadapannya. Tanpa sadar, matanya menjelajah perlahan ke payudara yang memamerkan puting kecil kemerahan dari balik kaos tipis itu. Meski samar, ia bisa melihat dengan jelas lekuk tubuh gadis itu, termasuk celana dalam merahnya yang berenda.

Kontolnya kontan mengeras, air ludahnya tertahan.

"Ehem!"

Niko tersentak. Ia berusaha menguasai diri dan menyodorkan amplop coklat berisi keping VCD rekaman CCTV yang diminta Vanya tadi pagi.

"Nih!" tukas Vanya sambil menyodorkan gumpalan uang. Niko tergagap menyambutnya.

"Ma.. Makasih, non!" ujar Niko berusaha bersopan santun.

Belum sempat Niko mencoba memandang kembali gadis itu, Vanya sudah menutup pintu. Niko tercengang di tempatnya berdiri dengan apa yang dilihatnya barusan.

Biasanya, Niko takkan berani untuk menyediakan apa yang diminta Vanya. Meski bekerja sebagai sekuriti di apartemen tersebut, rekaman CCTV termasuk hal yang sensitif dan dilarang untuk disalin kepada siapapun, kecuali diminta oleh pihak yang berwajib. 

Permintaan Vanya juga cukup mendadak dan mendesak, namun tawaran uang tunai 500 ribu sebagai imbalan membuatnya tak bisa berkutik dan memilih untuk mengambil resiko.

Terlebih lagi, siapa sangka rejeki nomplok juga akan menyiram matanya sebagai bonus?

---

Tak butuh waktu lama bagi Vanya untuk menemukan sosok Jono dalam video itu. Perawakannya yang kecil dengan kulit hitam terlihat jelas, namun rendahnya kualitas video itu membuatnya sulit untuk menerka wajah Jono.

Jono terekam celingukan beberapa saat sebelum membuka pintu kamarnya. Vanya mengernyitkan dahi, menghela napas. Sampah inikah yang menodaiku? pikirnya tak percaya. Ia merasa marah dan terhina.

Perlahan, Vanya mengulang video itu dan memperhatikan seluruh pakaian yang dikenakan Jono. Masih mengenakan seragam, akan sulit bagi Vanya untuk mengenali sosoknya diantara pegawai lain di apartemen itu. Namun sejurus kemudian, pandangannya terhenti pada sepatu bergaris kuning yang dipakai Jono.

Gotcha!


terima kasih sudah membaca cerita - cerita yang sudah kami sajikan.
ikuti kami melalui fanspage facebook kami, untuk mengetahui up-date yang selanjutnya.
,

No comments:

Post a Comment